Apakah Cemarang Jamur Kapang diterima di ruang bersih?

Jamur di ruangan berkelas

Area terklasifikasi dalam produksi farmasi dipantau untuk partikel hidup dan tidak hidup, termasuk mikroorganisme seperti jamur dan bakteri. Mikroba ini ditemukan di lingkungan dan diukur melalui pengambilan sampel udara menggunakan media pertumbuhan, baik dengan metode pelat pengendapan maupun sampel udara aktif.

Berbagai pedoman peraturan ada untuk pengambilan sampel mikroba udara, yang menetapkan batasan terhadap tingkat kontaminasi mikroba di udara. Namun, tidak ada pedoman yang secara spesifik mengatur batasan jamur, meskipun batas umum unit pembentuk koloni (cfu) dicantumkan dalam semua pedoman.

Jamur di Area Aseptik
Meskipun penting untuk mematuhi batas yang telah ditetapkan, penetapan batas khusus untuk jamur tidak diwajibkan. Media seperti pelat agar SCDA (Soybean Casein Digest Agar) atau R2A biasanya diekspos atau digunakan dalam pengambilan sampel udara dan diinkubasi selama lima hari. Setelah itu, jumlah koloni dihitung sebagai cfu per pelat atau per meter kubik.

Berikut ini beberapa pedoman dari berbagai badan peraturan yang menetapkan batas pengambilan sampel udara di area terkontrol dalam satuan cfu, yang menunjukkan bahwa keberadaan koloni jamur masih dianggap dapat diterima di area terklasifikasi.

Tabel Persyaratan Jamur di ruangan farmasi

Unit Pembentuk Koloni (cfu) di Lingkungan Terkendali menurut USP

Kelascfu per meter kubik udaracfu per kaki kubik udara
M3.5Kurang dari 100Kurang dari 3
M5.5Kurang dari 10.000Kurang dari 20
M6.5Kurang dari 100.000Kurang dari 100

Unit Pembentuk Koloni (cfu) di Lingkungan Terkendali menurut WHO

GradeSampel Udara (cfu/m³)Pelat Sedimentasi (diameter 90 mm) (cfu/4 jam)Pelat Kontak (diameter 55 mm) (cfu/pelat)Cetak Sarung Tangan (5 jari) (cfu/sarung tangan)
A< 1< 1< 1< 1
B10555
C1005025
D20010050

Unit Pembentuk Koloni (cfu) di Lingkungan Terkendali menurut Jadwal M

GradeSampel Udara (cfu/m³)cawan papar (diameter 90 mm) (cfu/2 jam)cawan papan (diameter 55 mm) (cfu/pelat)Sarung Tangan (5 jari) (cfu/sarung tangan)
A< 1< 1< 1< 1
B10555
C1005025
D50010050

Pencegahan Kontaminasi Jamur

Meskipun deteksi kontaminasi jamur dalam proses produksi farmasi masih menjadi tantangan, penerapan praktik pencegahan dan kebijakan yang tepat harus tetap diutamakan, seperti yang diungkapkan dalam penelitian ini.

Kontaminasi Jamur dalam Produk Farmasi
Dalam tinjauan mengenai kontaminasi jamur pada obat-obatan dan alat kesehatan, para peneliti menjelaskan bahwa kontaminasi ini sering kali disebabkan oleh pelanggaran prosedur peracikan steril.

Para penulis menyebutkan, “penggunaan teknik peracikan steril yang kurang tepat, kondisi penyimpanan yang tidak memadai, atau melebihi batas jumlah jamur yang ditoleransi dapat menyebabkan kontaminasi jamur.”

Faktor lain yang berkontribusi meliputi “penanganan yang buruk, pengemasan ulang, serta ketidakpatuhan terhadap praktik produksi yang baik (GMP) selama proses pengeluaran dan pengemasan produk farmasi yang tidak steril.”

Kontaminasi Jamur di Fasilitas Farmasi
Jamur dan ragi dilaporkan sering ditemukan di ruang bersih, ruang pendingin, dan area terkendali farmasi. Kenaikan suhu lingkungan dan masuknya jamur dari barang-barang yang dibawa ke dalam ruang bersih telah memicu peningkatan kontaminasi di beberapa perusahaan farmasi dan vaksin di Eropa.

Menurut Ahmed dkk., berdasarkan data dari FDA mengenai penarikan lebih dari 100 produk farmasi antara tahun 2000 dan 2010, “jamur ditemukan pada 21 persen produk.” Dalam tiga tahun terakhir (sejak 2023), beberapa obat juga telah ditarik dari pasar karena kontaminasi jamur.

Sebuah kasus dari 2021 menyoroti kontaminasi obat antimikroba untuk persiapan kulit praoperasi oleh Aspergillus penicilloides, yang disebabkan oleh kondisi penyimpanan yang tidak sesuai. Kasus serupa pada tahun 2013 melibatkan suntikan steroid yang mengandung metilprednisolon asetat, menyebabkan 55 kasus meningitis jamur yang fatal.

Pencegahan Kontaminasi Produk Obat
Penulis menekankan bahwa karena tantangan dalam mengidentifikasi jamur, “pemeriksaan jamur oleh otoritas untuk pengendalian kualitas mikroba masih terbatas.” Beberapa metode diagnostik yang disebutkan termasuk Fourier Transform Infrared (FTIR), Surface-Enhanced Raman Scattering (SERS), Solid Phase Cytometry (SPC), Resonansi Magnetik Nuklir (NMR), biosensor, dan nanoteknologi.

Ahmed dkk. menyatakan bahwa “nanoteknologi dapat membantu memperbaiki praktik diagnostik jamur saat ini, karena deteksi yang cepat dan akurat diperlukan untuk menentukan tindakan perbaikan yang tepat.”

Secara keseluruhan, mengingat dampak serius dari kontaminasi jamur pada obat-obatan, Ahmed dkk. menekankan bahwa “hanya barang yang telah memenuhi standar normatif yang terverifikasi yang harus digunakan dalam operasi desinfeksi dan antiseptik.”

M. Fithrul Mubarok
M. Fithrul Mubarokhttps://farmasiindustri.com
M. Fithrul Mubarok, M.Farm.,Apt adalah Blogger Professional Farmasi Industri pertama di Indonesia, pendiri dan pengarang dari FARMASIINDUSTRI.COM sebuah blog farmasi industri satu-satunya di Indonesia. Anda dapat berlangganan (subscribe) dan menfollow blog ini untuk mendapatkan artikel terkait farmasi industri. Email: [email protected] WhatsApp/WA: 0856 4341 6332

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berlangganan Artikel

Berlangganan untuk mendapatkan artikel terbaru industri farmasi

Stay Connected

51FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
-

Artikel terkini