oleh: Bambang Priyambodo
Tak pelak lagi, obat sudah menjadi kebutuhan yang amat vital bagi setiap orang, apalagi pada saat sakit. Namun, pada saat kita hendak membeli obat di warung/toko obat/apotek atau pada saat menebus obat di apotek/rumah sakit, banyak di antara kita yang mengernyitkan dahi, sambil bergumam “Obatnya koq mahal banget ya?” atau “Lho obat ini isinya sama, koq harganya sangat beda jauh dengan yang saya beli kemarin?”, dan lain sebagainya.
Ada begitu banyak pertanyaan masyarakat seputar harga obat ini, sebenarnya bagaimana sih industri farmasi mematok harga obat? Kenapa ada obat yang mmuuahal banget sampe berjuta-juta setiap butirnya, namun disisi lain ada pula obat yang sangat mmmuuuurah banget (lebih murah dari harga sebutir permen!). Lho koq bisa? Ok, sebenarnya bukan bidang saya untuk mengupas masalah ini, namun dari beberapa informasi yang berhasil saya kumpulkan ditambah dengan hasil nanya-nanya temen-temen yang kerja di bagian Marketing dan Keuangan, mudah-mudahan tulisan ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas.
Faktor-faktor Penentu Harga Obat
Penentuan harga obat, sebagaimana “komoditas” yang lain, juga sangat dipengaruhi beberapa hal, antara lain :
- Biaya Bahan Baku (bahan baku/zat aktif, bahan/zat tambahan dan bahan pengemas)
- Biaya Operasional (operational cost)
- Biaya Marketing dan Promosi
- Biaya Distribusi
- Biaya Lain-lain (Umum, Penyusutan, Pajak, dan lain-lain).
Berikut adalah gambaran struktur harga obat hingga sampai di tangan pasien :
- Harga Pokok Produksi (HPP) atau yang sering disebut dengan COGM (Cost Of Goods Manufacture) terdiri dari Biaya Bahan Baku (bahan aktif, bahan tambahan dan bahan pengemas), biaya tenaga kerja langsung (direct labour), danbiaya over-head cost (Biaya telepon, BBM, listrik, spare part, training dll). Untuk industri farmasi, biaya bahan baku bisa mencapai 70 – 80% , direct labour antara 5 – 10% , dan overhead cost antara 15 – 20 % dari HPP. Khusus untuk obat-obat lisensi (under licence) dan obat paten (patented drug) masih dibebani biaya lisensi/paten serta kewajiban untuk membeli bahan baku dari pemberi lisensi/paten. Hal inilah salah satu penyebab mengapa obat-obat yang masuk dalam kategori under licence atau obat-obat paten harganya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan obat generic maupunbranded generic.
- Selanjutnya, HPP + Biaya Marketing + Biaya Lain-lain (General Affairs, termasuk komisi dan bonus komisaris/direksi, baiya CSR, dll) + Bunga & Depresiasi + Laba Operasional (profit) menjadi HJP (Harga Jual Pabrik) atau yang sering disebut dengan COGS (Cost Of Goods Sales).
- HJP + Distribution fee (biaya distribusi) = HNA (Harga Netto Apotek).
- HNA + Laba (apotek dan/atau PBF) + PPN = HJA (Harga Jual Apotek), yang merupakan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang dibayarkan oleh konsumen.
Nah, dari sini mudah-mudahan kita sudah mendapat gambaran bagaimana cara menentukan harga dari sebutir obat. Baik, selanjutnya masih ada pertanyaan yang masih belum terjawab,yaitu mengapa kalau obat bebas (misalnya obat batuk, obat flu, obat pana, dan lain-lain) harganya hampir sama (kalaupun berbeda tidak terlalu jauh), tapi kalau untuk obat resep koq harganya sangat berbeda, apalagi untuk obat-obat yang ber-merek (branded) dibanding dengan obat generik ?
Penggolongan Obat
Biasanya, industri farmasi membagi produknya menjadi 2 golongan besar, yaitu obat-obatethical/resep dan obat-obat OTC (over the counter)/obat bebas. Obat golonganethical, adalah obat yang hanya bisa dibeli dengan resep oleh dokter, sedangkan obat OTCbisa dibeli langsung tanpa resep. Obat ethical ditandai dengan huruf “K” dalam lingkaran merah, sedangkan obat OTC biasanya bertanda lingkaran biru (obat bebas terbatas) atau lingkaran hijau (obat bebas). Termasuk dalam golongan OTC ini adalah produk-produk kesehatan berupa makanan tambahan (food suplement), seperti multivitamin, vit. C,energy drink, dan sebagainya. Untuk obat-obat golongan OTC ini, biasanya berlaku hukum pasar. Artinya, laku-tidaknya produk sangat tergantung bagaimana strategi marketing (marketing mix) dari si pemilik produk dan masyarakat (baca: konsumen) bebas untuk memilih produk yang hendak digunakan.Tentu saja, agar konsumen mengenal produk yang diproduksi dan kemudian tertarik untuk membeli, maka si pabrik obat harus mengeluarkan biaya untuk mempromosikan obatnya. Promosi ini bisa melalui ATL (above the line), seperti iklan di TV, Radio, majalah/surat kabar atau melalui BTL (bellow the line), seperti penyebaran brosur, penempelan leaflet, sponsor seminar dan sebagainya.
Lain halnya dengan obat-obat golongan ethical. Untuk obat-obat golongan ini, masyarakat (baca: konsumen) tidak bisa bebas memilih produknya, namun DIPILIHKAN oleh dokter yang memeriksanya. PILIHAN doter tersebut tercantum dalam selembar resep yang diberikan dokter kepada si pasien. Selanjutnya, si pasien/konsumen menebus resep tadi di apotek untuk bisa mendapatkan obat. Jadi disini konsumen “tidak memiliki kebebasan” dalam memilih obat yang hendak dikonsumsinya, semuanya sudah ditentukan oleh dokter yang menanganinya. Di sinilah letak akar masalahnya! Si dokter yang menuliskan resep tidak ikut membayar atas obat yang dipilihnya, sedangkan si pasien tidak bisa membantah/menolak produk yang dipilihkan oleh si dokter. Unik ya? itulah uniknya “komoditas” yang satu ini. Dalam hubungan antara industri farmasi sebagai produsen – dokter penulis resep dan pasien seperti tergambar dalam ilustrasi di atas, kemudian timbul berbagai macam tudingan bahwa telah terjadi “perselingkuhan” antara dokter dengan industri farmasi. Industri farmasi dituduh “menghalalkan segala cara” untuk mempengaruhi dokter agar menuliskan obat yang diproduksinya. Cara-cara mempengaruhi dokter tersebut dilakukan oleh industri farmasi melalui pasukan detailer (medical representatif), mulai dari hal-hal yang berbau science dan informatif (seperti khasiat obat, efek samping, keunggulan produk dibanding pesaing, membiayai ongkos untuk seminar/pelatihan, biaya langganan jurnal-jurnal ilmiah, sponsor penelitian, dll) hingga pada hal-hal yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan duniascience/kedokteran, seperti hadiah AC, kulkas, TV, Handphone, tiket pesiar, dan sebagainya. Lepas benar-tidaknya tudingan tersebut, tentu saja berbagai upaya untuk mempengaruhi dokter tersebut pasti membutuhkan biaya yang nantinya akan dibebankan pada harga obat. Menurut “bisis-bisik” temen dari Bagian Marketing, biaya untuk “entertain” dokter ini bisa mencapai 30% dari harga obat. Woow….. Itu baru dari biaya marketing.
Faktor-Faktor Lain.
Di samping faktor-faktor yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi harga dari sebutir obat yang kita minum. Cilakanya faktor ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan berbagai beban biaya yang telah kita bahas sebelumnya . Lho koq bisa? Apa itu ?
Ternyata, industri farmasi dalam menentukan harga obat tidak semata-mata berdasarkan hitung-hitungan “njilet” di atas, tapi lebih banyak berdasarkan aspek-aspek berikut :
- Harga produk sejenis yang sudah ada di pasaran
- Tingkat kompetisi pasar
- Besarnya biaya promosi yang diperlukan
- Besarnya modal yang dikeluarkan (apalagi kalau untuk membuat obat tadi harus invest alat/mesin baru)
- Besarnya laba/margin yang diinginkan.
Jadi… untuk menentukan harga sebutir obat yang kita minum memang tidak mudah dan sederhana. Ada banyak faktor dan pertimbangan yang harus diperhatikan. Namun demikian, hendaknya faktor konsumen/pasien dalam hal ini juga harus mendapat perhatian dari industri farmasi. Bisnis farmasi (baca: obat) bukan bisnis semata, namun ada nilai-nilai sosial di dalamnya. Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.