Industri farmasi Indonesia diawali dengan berdirinya pabrik farmasi pertama di hindia timur pada tahun 1817, bernama NV. Chemicalien Rathkamp & Co kemudian NV. Pharmaceutische Handel Vereneging J. Van Gorkom & Co. pada tahun 1865.
Dalam kurun waktu 50 tahun, Indonesia kemudian meluncurkan industri farmasi modern pertama, yaitu pabrik kina di Bandung pada tahun 1896.
Walaupun usianya lebih dari satu abad, namun perkembangan industri farmasi di Indonesia dibilang relatif lebih lambat dibandingkan negara lainnya. Perkembangan industri farmasi mulai mencuat pada masa kemerdekaan. Tenaga apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda.
Tahapan Perkembangan Industri Farmasi Indonesia
Dalam perkembangannya, secara ringkas industri farmasi di Indonesia mengalami beberapa tahapan periode sebagai berikut:
1. Periode Masa Penjajahan.
Periode ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia. Hal ini diawali dengan pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.
2. Periode Setelah Kemerdekaan. Setelah dijajah lebih dari 3,5 abad, industri farmasi mulai berkembang setelah kemerdekaan Indonesia. Periode setelah perang kemerdekaan
sampai dengan tahun 1958, jumlah tenaga asisten apoteker mulai bertambah dengan jumlah yang relatif lebih besar. Di tahun ini jumlah apoteker mengalami peningkatan yang luar biasa. Apoteker Indonesia juga bukan hanya berasal dari pendidikan dalam negeri saja, tetapi juga dari luar negeri.
3. Periode 1958-1967.
Pada periode ini perkembangan industri farmasi di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan, karena dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 1968. Undang-undang inilah yang telah mendorong perkembangan industri farmasi Indonesia hingga saat ini. Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang dan merupakan pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN.
Namun sayangnya dengan peraturan dalam undang-undang penanaman modal tersebut, industri farmasi masih menghadapi berbagai hambatan yang cukup berat. Hal ini disebabkan karena adanya sistem penjatahan bahan baku obat, sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian jatah bahan baku, atau mereka yang mempunyai relasi kuat dengan luar negeri.
4.Periode Tahun 1980
Melihat keterpurukan yang sempat terjadi dalam industri farmasi, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 tentang perubahan atas PP No. 26 Tentang Apotek. Juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Tak hanya itu, Pemerintah juga mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang pemberian izin Apotek. Peraturan ini terus berubah mulai dari UU No.3/1953 tentang pembukaan apotek sampai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan PERMENKESRI No.922/Menkes/PER/X/1992 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotik sesuai dengan perkembangan dunia bisnis dan ilmu serta teknologi yang berkembang saat itu.
5.Periode 2014 – sekarang
Diluncurkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun 2014, sejak tahun 2014 pasar farmasi Indonesia mengalami evolusi secara signifikan. Karena sebenarnya JKN dinilai cukup mengganggu industri farmasi dalam negeri, meskipun mampu memperluas cakupan pasar dan menyediakan akses layanan dan perawatan kesehatan bagi masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena pemerintah menetapkannya harga yang cukup ketat untuk obat-obatan yang diterima dalam JKN, dan bahkan sebagian obat-obatan ini kemudian disediakan secara gratis untuk warga negara yang memenuhi syarat saat berobat.
Akibatnya, jumlah pasien JKN terus meningkat pesat sedangkan jumlah pasien yang menanggung biaya pengobatannya sendiri justru menjadi cenderung stagnan. Walaupun pada akhirnya banyak pasien yang akhirnya lebih memilih menanggung biaya kesehatan sendiri karena tak ingin berlama-lama menunggu saat memanfaatkan JKN.
6.Perkembangan Industri Farmasi di Saat Pandemi Covid-19
Wabah COVID-19 ini sebenarnya menciptakan peluang untuk mendorong produksi farmasi dalam negeri. Namun akibat ketergantungan pada bahan baku impor yang sekitar 60 persennya diimpor dari Cina, maka pandemi Covid 19 justru menurunkan produksi industri farmasi Indonesia hingga 60 persen di bulan Mei 2020. Efek positif pandemi Covid-19 bagi industri farmasi adalah adanya relaksasi aturan yang sangat membantu industri farmasi.
Pandemi COVID-19 yang terjadi mulai awal tahun 2020 menjadikan kebutuhan akan vitamin, suplemen dan obat herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuh secara umum meningkat, sehingga industri farmasi yang bermain di sektor tersebut memperoleh pertumbuhan yang cukup besar, ditandai dengan PDB Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional yang tumbuh paling tinggi di antara 15 (lima belas) kelompok Industri Pengolahan Nonmigas pada 2020, yaitu mencapai 9,39% (yoy), pertumbuhan ini juga meningkat dibandingkan tahun 2019 yaitu sebesar 8,48% (yoy). Kontribusi Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisonal juga meningkat pada 2020 sebesar 10,75% terhadap PDB Industri Pengolahan Nonmigas dibanding kontribusi sebesar 9,56% di tahun 2019. Sepanjang tahun 2020, permintaan komoditas farmasi dan alat kesehatan mengalami peningkatan signifikan sebagai respon dari masyarakat maupun pemerintah untuk mengantisipasi dan mengatasi Pandemi COVID-19. Peningkatan penjualan tertinggi yaitu pada komoditas personal protective sebesar 50,3% dari sebelumnya hanya sebesar 0,1%. Sedangkan peningkatan permintaan terbesar komoditas kesehatan yaitu untuk masker sebesar 12,6%, hand sanitizer 3,1% dan handsoap 2,1%.