Berikut merupakan wawancara ketua GP farmasi mengenai kondisi industri tahun 2017 yang saya kutip dari Gatra
WAWANCARA
Johannes Setijono: Hidup Sih, Tapi Susah
Berkat adanya BPJS Kesehatan, harga obat menjadi lebih murah. Volume obat pun meningkat. Meskipun tumbuh lebih baik, industri farmasi mendapat margin lebih sedikit. Saatnya mencari peluang. Pemerintah perlu memberikan insentif.
Masyarakat berduyun-duyun menjadi peserta Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) bidang Kesehatan. Jumlahnya mencapai hampir 160 juta orang. Ini mengakibatkan peningkatan jumlah obat. Banyak industri yang melihatnya sebagai peluang dan berlomba agar obatnya masuk dalam e-catalogue BPJS. Perang harga pun terjadi.
Volume obat meningkat, sebagian besar obat generik yang relatif lebih murah. Tapi. ini hanya membantu sedikit keberlangsungan hidup industri farmasi. “E-catalogue bikin profit perusahaan farmasi rendah sekali,” kata Johannes Setijono, Ketua Umum GP Farmasi.
Perusahaan farmasi kini berebut mencari peluang lain, seperti menilik obat bebas, mengekspor atau melirik obat herbal. Karena kalah bersaing, ada pabrik farmasi, seperti yang ada di Jawa Tengah, nyaris bangkrut. GP Farmasi meminta pemerintah memberikan insentif kepada perusahaan farmasi.
Johannes terpilih sebagai Ketua GP Farmasi pada tahun lalu. Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 72 tahun lalu silam, ini memulai kariernya di Kalbe sejak 1972. Kariernya menanjak hingga menjadi presiden direktur perusahaan farmasi terbesar di Indonesia ini sampai 2008.
Di tengah kesibukannya, Johannes yang kini juga menjabat Presiden Komisaris PT Kalbe Farma menyempatkan diri melayani pertanyaan Aries Kelana, Putri Kartika Utami, Flora Libra Yanti, dan pewarta foto Drigo dari Gatra di kantornya, Kalbe Farma, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa pagi lalu. Berikut petikannya:
Apa pendapat Anda mengenai industri farmasi saat ini?
Industri farmasi Indonesia sekian puluh tahun ini selalu tumbuh dengan baik. Biasanya, pertumbuhan itu di atas pertumbuhan dari GDP (gross domestic bruto) Indonesia. Lima tahun terakhir, kalau dirata-rata, industri farmasi ini tumbuh 11%, sedangkan GDP hanya 5%-6%. Jadi, selalu bertumbuh di atas pertumbuhan GDP.
Tapi bagaimana dengan konsumsi obat di Indonesia?
Konsumsi obat per kapita di Indonesia masih kecil sekali, termasuk juga konsumsi kesehatan secara keseluruhan. Indonesia tahun lalu hampir 3%. Kecil sekali dibandingkan dengan negara-negara lain yang dekat-dekat. Misalnya Thailand, belanja kesehatan terhadap GDP kira-kira 4%, sedangkan Cina 5%. Bahkan Vietnam yang relatif lebih muda dari Indonesia itu sudah 6%.
Indonesia baru mulai ditingkatkan konsumsinya. Pemerintah meningkatkan anggaran untuk kesehatan menuju ke arah 5% (dari APBN). Artinya sudah ada langkah yang positif dari pemerintah untuk meningkatkan biaya belanja buat kesehatan. Itu bisa dilihat dari adanya BPJS. Pendirian rumah sakit, puskesmas, dan semua kesiapan untuk orang bisa berobat. Itu yang disiapkan.
Dampaknya terhadap industri farmasi?
Dua tahun terakhir, sejak 2014, industri farmasi Indonesia mengalami perubahan yang drastis karena Sistem Jaminan Sosial Nasional. BPJS memberi perubahan yang sangat mendasar terhadap kesehatan di Indoneisa, termasuk di dalamnya indutri faramsi. Rakyat yang tadinya harus bayar dari kantong sendiri, sekarang akan secara bertahap lewat asuransi kesehatan yang dikelola pemerintah. Maksudnya, jumlah orang yang disubsidi pemerintah dan mendaftar sendiri meningkat luar biasa. Sekarang ini sudah 160 juta orang lebih yang terdaftar sebagai anggota BPJS.
Sebelumnya, sudah ada program-program pemerintah serupa, tapi jumlahnya tidak sampai sekian banyak. Sekarang ini betul-betul massif, intensif sehingga jumlahnya cukup besar. Ini dibarengi dengan sistem pengadaan barang dengan lelang terbuka atau e-catalogue. Itu juga perubahan yang drastis sekali.
Artinya, berdampak bagus bagu industri farmasi?
Secara umum, untuk industri farmasi dan bidang kesehatan seperti pedang bermata dua. Di satu pihak, bagus sekali, karena jumlah pasiennya meningkat. Tapi yang laku adalah obat yang murah. Sebelum ini, pertumbuhannya hanya 8%-9% biarpun volumenya meningkat banyak. Hopefully, di tahun ini sudah stabil sehingga bisa kembali tumbuh normal ke 10%-11%.
Berapa pasar farmasi kita?
Tahun lalu pasarnya lebih kurang Rp 62 trilyun. Ini masih kecil sekali dibanding pasar dunia yang di atas US$ 1 trilyun. (Pasar) Indonesia tidak sampai 0,5% dari pasar dunia. Biar pun populasinya banyak, 260 juta penduduk, tapi konsumsi obat masih kecil sekali dibanding dengan pasar dunia. Yang besar di AS, Eropa, Jepang, Tiongkok, dan Australia.
Banyak orang masih mengeluhkan harga obat kita yang masih mahal. Tanggapan Anda?
Persepsi mahal itu harus diubah dulu. Sekarang dengan adanya BPJS, obat di sini luar biasa murahnya. Bayangkan untuk pasien hipertensi, pasien harus minum obat tekanan darah tinggi amlodipin, misalnya. Lalu juga minum obat lain karena jantungnya bermasalah. Belum lagi harus minum obat penurun lemak darah. Dalam sehari pasien harus minum tiga-empat obat. Tapi oleh BPJS, biaya obat bisa dipangkas. BPJS cuma mengeluarkan uang tidak lebih dari Rp 15.000 untuk pengeluaran sebulan melalui e-catalogue. Murahnya bukan main, sedangkan standarnya tinggi sekali.
Jadi, apa yang bikin obat mahal?
Kalau pasien pergi ke dokter spesialis karena mereka akan kasih obat paten. Kecuali ke speslias lewat BPJS, karena dokternya tidak boleh pakai paten, harus generik. Yang bikin obat mahal itu karena orang langsung pergi ke dokter spesialis dan spesialis biasanya memberi obat-obat yang paten.
Lantas, bagaimana industri farmasi mencari peluang?
Sekarang, industri farmasi kita sedang berlomba-lomba membikin suplemen, obat bebas yang tidak dikontrol dan orang bisa beli langsung. Karena, kalau hanya mengandalkan ke BPJS, betul-betul hidup susah. Hidup sih, tapi susah karena tipis sekali profitnya, hahaha…
Bagaimana standar Indonesia dalam soal obat?
Indonesia merupakan salah satu negara yang standarnya tinggi, memakai PICS (Pharmaceutical International Convention Scheme), suatu konvensi internasional untuk menyatukan standar dan kualitas. Banyak dianut di negara-negara Eropa. Indonesia negara ketiga di ASEAN yang menganut sistem PICS, setelah Singapura dan Malaysia. Thailand saja belum.
Peluang lain bagi industri farmasi?
Kita, kalau beli generik saja di luar itu mahal sekali. Jadi, memang itu ujung-ujungnya bisa menjadi peluang. Industri farmasi Indonesia yang merasa bahwa di sini profit margin-nya tipis, boleh juga memikirkan untuk ekspor, baik ke Eropa, Australia, Jepang, dan lain-lain, yang daya belinya lebih tinggi. Pemerintah dan rakyatnya berani bayar lebih mahal.
Bagaimana perbandingan yang dikonsumsi dalam negeri dengan yang diekspor?
Ekspor masih kecil. Mungkin baru 3%-4% yang dijual ke luar negeri. Ada obat-obat bebas dan obat resep. Karena, di Indonesia harganya sudah semakin mepet itu memacu industri dalam negeri untuk cari peluang lain. Kalau bisa jual produk yang sama ke negara lain dengan harga lebih tinggi, kenapa tidak.
Untuk menekan harga obat, pemerintah mendorong pendirian pabrik bahan baku farmasi. Bagaimana GP Farmasi merespons kebijakan ini?
Dua tahun terakhir ini terjadi banyak dialog antara GP Farmasi dan pemerintah mengenai industri bahan baku. Pemerintah mengharapkan industri farmasi tidak hanya membuat produk jadi, tapi mulai juga membuat bahan baku. Jadi, dibuatlah roadmap, bagaimana kita maju ke depan makin banyak yang bisa diproduksi dalam negeri. Nah, di dalamnya, termasuk supaya perusahaan asing lebih tertarik investasi ke Indonesia di bidang bahan baku, boleh dibuka investasi 100% untuk pabrik bahan baku. Kalau untuk industri jadi, tetap tidak berubah, 85%. Dibikin 100% karena melihat kemampuan industri farmasi lokal untuk menyiapkan semua bahan baku kurang.
Yang kurang apanya?
Modal mungkin masih bisa tersedia karena perbankan bisa dorong dan membantu. Tapi yang lebih berat teknologi dan sumber daya manusia.
Perusahaan farmasi mana saja yang tertarik memproduksi bahan baku obat?
Kimia Farma, Kalbe, Bernofarm, dan Combiphar. Yang sekarang terjadi kerja sama antara lokal dan asing. Bentuknya macam-macam ada yang joint venture, hanya transfer teknologi dan lain-lain. Tapi yang muncul utama masih lokalnya. Kalbe sementara ini hanya tranfer teknologi dengan Tiongkok, tapi investasinya Kalbe. Beberapa industri farmasi mulai juga membuat bahan baku, tapi bukan berarti langsung jadi.
Kapan hasilnya ketahuan?
Pabrik ini menyiapkannya bisa tiga-empat tahun. Investasimya sudah mulai tapi jadinya mungkin 2017 atau 2018 pabrik itu baru bisa menghasilkan. Semua di bidang farmasi itu panjang prosesnya. Tidak hanya teknologinya, tapi setelah selesai ada proses validasi, pembuktian produknya sama, registrasi dan segala macam dan baru bisa produksi 2017-2018.
Sudah ada yang bergerak?
Misalnya Kimia Farma yang bikin garam farmasi. Sederhana sekali tapi berarti banyak karena dari dulu garam saja masih impor. Sekarang mulai produksi meskipun belum cukup.
Yang di luar Kimia Farma ini, yang diproduksi adalah produk biological, yaitu yang dibuat dengan teknik-teknik fermentasi, jadi bukan reaksi kimia. Macam-macam. Ada yang memproduksi erithropoetin, untuk meningkatkan sel darah untuk penyakit ginjal dan kanker.
Mengapa yang ini yang dibuat, bukan antibiotik atau obat lain?
Permintaannya cukup tinggi. Perusahaan-perusahaan menganggap produksi ini masih memberikan profit. Nanti di samping dipasarkan di Indonesia juga dipasarkan ke luar.
Sedangkan yang sudah sangat terkenal, harga begitu murah di pasar dunia. Kalau kita produksi sendiri pun sulit bersaing dengan impor. Karena di sana skala produksinya jauh lebih besar dibanding Indonesia. Indonesia ini meski jumlah penduduknya besar, tapi pasar obatnya masih kecil.
Seberapa berpengaruhnya komponan bahan baku impor terhadap harga obat?
Kalau kita bicara bahan baku ini kan investasinya besar sekali. Pertama untuk pabrik. Kedua, investasi manusianya. Karena, itu industri yang baru bagi Indonesia. Jadi persiapan manpower-nya ini tidak sama dengan industri farmasi.
Kalau impor bahan baku sudah berkurang dengan pendirian pabrik bahan baku lokal, seberapa besar pengaruhnya?
Nomor satu, kita perlu tahu bahwa industri bahan baku ini suatu industri khusus yang sangat tergantung pada skala. Kedua, industri hulunya harus tersedia. Kalau industri hulunya tidak tersedia, berarti kita harus impor juga. Bahan pelarut, misalnya, jadi mahal lagi.
Seberapa besar perhatian indutri lokal terhadap penelitian obat-obat baru?
Memang yang utama, industri lokal kita konsentrasinya masih ke me too (produk setara dengan obat paten). Jadi obat yang sudah off-patent kita bikin. Tapi sudah mulai beberapa industri yang melakukan riset yang pengembangan produk baru dari awal. Memang masih terbatas, yang besar-besar saja yang mampu melakukan penelitian ini karena biayanya mahal sekali. Misalnya Kalbe, dalam setahun bisa keluar Rp 200 milyar untuk penelitian. Sebuah angka yang gede untuk industri farmasi.
Penelitiannya pun banyak yang kerja sama dengan asing supaya tidak start dari nol. Kalau dari nol akan panjang bukan main. Ada yang namanya co-development. Sama-sama mengembangkan suatu produk. Misalkan, ada satu institusi tertentu di luar yang sudah punya produk tapi belum terbukti atau sudah mendapat nomor registrasi, lalu mengajak kerja sama dari titik itu. Maka, dibutuhkan insentif dari pemerintah untuk melakukan riset supaya orang lebih mau berinvestasi untuk bidang penelitian.
Adakah alokasi khusus dari pemerintah untuk riset ini?
Masih belum ada yang jelas. Sebetulnya sudah ada peraturan pemerintahnya dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tapi belum bisa dijalankan karena dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum keluar petunjuk pelaksanaannya. Kami sedang melobi ke Kemenkeu supaya mereka juga mengeluarkan peraturan yang menegaskan ini.
Apa yang dibutuhkan pelaku usaha?
Butuh support dari pemerintah berupa insentif-insentif yang lebih banyak. Dengan begitu mungkin lebih banyak industri farmasi yang tergerak melakukan penelitian-penelitian.
Dalam pembahasan roadmap dengan pemerintah, apakah proteksi dan kepastian pasar ini pernah dibahas?
Ini diminta terus tapi tidak ada yang hitam-putih. Sedang dipelajari, dan mereka bilang akan di-support. Kalau ada hitam di atas putih mungkin akan lebih berminat, lebih cepat.
Bagaimana Anda melihat paket kebijakan ekonomi jilid XI? Bukankah ada berbagai insentif bagi industri farmasi?
Sudah bagus sekali. Tapi harus dijabarkan lebih lanjut. Masih perlu didorong lagi.
Bagaimana dengan BPJS?
Kita harapkan, pada 2019 seluruh masyakat Indonesia sudah ter-cover BPJS. Diharapkan BPJS tidak saja hanya untuk pengobatan basic. Tapi akan ada kerja sama antara asuransi swasta dan pemerintah untuk meng-cover pasien kelas ekonomi menengah ke atas. Sekarang masih belum jelas peraturannya. COB (coordination of benefit) sangat diperlukan karena dengan ini nanti yang berkembang tidak hanya obat yang paling murah, tapi obat yang tidak terlalu murah pun bisa berkembang. Termasuk juga untuk orang-orang yang mau pilih mau RS mana dan dokternya siapa. Kalau dengan BPJS kan tidak bisa. Sudah harus ke rumah sakit ini dengan dokter ini. Kalau dengan COB mungkin bisa lebih longgar. Artinya tergantung pada asuransinya.
Kementerian Kesehatan sudah membuat pernyataan mengenai gratifikasi. Begitu pula IPMG (International Pharmaceutcial Manufacturer Group) dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Bagaimana dengan GP Farmasi?
GP Farmasi punya kode etik. Kuncinya, implementasi dari kode etik ini. Sekarang sedang dirundingkan bersama antara GP Farmasi, IDI, dan Kemenkes, bagaimana kode etik itu bisa jalan. Kode etiknya sudah bagus. Sponsor yang diberikan kepada dokter tidak boleh untuk nyogok, itu sudah jelas sekali. Tapi dengan kesepakatan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ini kelihatan meningkat sekali awareness orang untuk lebih bersih.
Bagaimana di internalnya GP Farmasi?
Anggota industri farmasi ini jumlahnya 208 perusahaaan termasuk dengan asing. Asingnya kira-kira 26, sementara lokal 180-an. Hampir semua menjadi anggota meski yang aktif mungkin hanya 40-50. Di samping industri ada pedagang besar faramsi (PBF) itu resminya 2.000 lebih. Ada apotek dan toko obat. Ada yang mau jadi anggota, ada yang tidak.
Ada aturannya?
Kita ada aturannya tapi organisasi GP Farmasi adalah organisasi yang bebas. Orang bebas masuk dan keluar. Kalau IDI kan jika orang tidak menjadi anggota IDI, tidak bisa buka praktek. GP Faramsi itu orang bergabung sendiri untuk kepentingan bersama tapi kalau tidak jadi anggota ya tidak ada sanksinya.
Bagaimana aturannya?
Ini voluntary sifatnya, sehingga kita tidak bisa terlalu keras terhadap anggota. Kalau ada yang tidak benar, kita tegur tapi maksimal hanya menegur. Tidak bisa memberi punishment lebih dari ini. Mungkin Kemenkes akan melakukannya.
Sumber: