Berikut artikel dari Bambang Priyambodo tentang Sejarah CPOB untuk bagian pertama dapat dibaca disini.
Selain kasus “Jim”, si kuda penarik gerobak susu yang menghasilkan antitoksin diphtheria yang tercemar kuman Tetanus, “Pure Food and Drug Act“ alias “Wiley Act“ juga dipicu oleh berbagai iklan dan “label“ obat yang sangat bombastis pada masa itu. Ada banyak contoh bagaimana obat-obat tersebut diberi label dan diiklankan bisa mengatasi aneka rupa penyakit, seperti Neuralgia, Cholera, Rheumatism, Paralysis, Neurosis, Epilepsy dan berbagai macam penyakit lainnya. Bukan saja untuk manusia, bahkan obat yang sama mereka “claim” bisa digunakan juga untuk kuda. Undang – undang yang di-sahkan ini tidak saja melarang segala jenis label dan iklan yang menyesatkan tersebut, namun juga mewajibkan para produsen untuk memproduksi obat yang sesuai dengan standart dosis, kualitas dan kemurnian sesuai dengan yang ditetapkan dalam USP (US Pharmacopoeia) maupun Formularium Nasional (The National Formulary). Selain itu, “Wiley Act“, juga mewajibkan para produsen untuk mencantumkan SEMUA bahan-bahan tambahan berbahaya yang digunakan, termasuk alkohol, morphine, opium, heroin dan kokain, yang pada saat itu amat lazim ditambahkan sebagai bahan obat. Undang – undang ini juga memungkinkan bagi Pemerintah Federal untuk menjatuhkan “penalty” bahkan hukuman kepada para produsen obat yang melanggar ketentuan dalam Undang – undang tersebut.
Sementara itu, industri farmasi terus melakukan inovasi dan penemuan – penemuan penting yang sangat mempengaruhi kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Oktober 1920, seorang ilmuwan Kanada – Frederick Banting – berhasil mengisolasi insulin yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit diabetes dari pankreas babi. Namun demikian, dia tidak pernah berhasil membuat ekstrak yang cukup murni sehingga tidak bisa digunakan untuk manusia. Hingga akhirnya pada pada bulan April 1921, mereka bertemu dengan para scientist dari perusahaan farmasi Eli Lilly Co., dan berhasil membuat ekstrak insulin skala besar dan memiliki kemurnian yang tinggi. September 1928, seorang ilmuwan berkebangsaan Skotlandia, Sir Alexander Fleming, secara tidak sengaja menemukan antibiotik pertama di dunia yaitu Penicillin G dari jamur Penicillin notatum. Inilah tonggak sejarah penemuan antibiotik yang akan sangat mempengaruhi perkembangan industri farmasi di dunia. Namun demikian, dia tidak pernah berhasil memproduksi Penicillin dalam jumlah yang cukup untuk pengobatan. Demikian pula kolega mereka di Oxford, Howard Florey dan Ernst Boris Chain. Hingga akhirnya, tiga perusahaan farmasi raksasa saat itu, yaitu Merck, Pfizer dan Squibb bahu-membahu sehingga akhirnya berhasil memproduksi Penicillin secara massal dan menyelamatkan jutaan nyawa manusia di seluruh muka bumi ini.
Meskipun Undang – undang “Pure Food and Drug Act” (1906) secara Nasional telah berhasil memberikan rasa aman pada masyarakat terhadap produk – produk industri farmasi pada masa itu, namun TIDAK ADA peraturan dari Pemerintah Federal yang MENJAMIN keamanan dari PRODUK – PRODUK yang akan dipasarkan. Hingga akhirnya, peristiwa yang sangat memilukan itu pun terjadi.
11 Oktober 1937, AMA (The American Medical Association) menerima laporan terjadinya beberapa kasus kematian karena pengobatan. Tidak kurang dari 100 orang meninggal dunia di 15 Negara Bagian, terbanyak di antara korban tersebut adalah anak-anak. Dari hasil pengusutan FDA, diketahui bahwa penyebab kematian tersebut disebabkan oleh obat Elixir (syrup) SULFANILAMIDE yang diproduksi oleh S.E. Massengill Company, sebuah perusahaan farmasi yang berlokasi di Bristol, Tennessee. Dari hasil pengusutan lebih lanjut, ternyata industry farmasi ini “menciptakan” formula SULFANILAMIDE baru dengan menggunakan Diethylene Glycol (DEG) sebagai solvent (lazimnya menggunakan alcohol sebagai pelarut). Mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa DEG sangat beracun dan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada ginjal. Tidak ada KEWAJIBAN bagi industri farmasi saat itu untuk melakukan pengujian, baik secara pra-klinis maupun uji klinis sebelum produk tersebut dipasarkan. Meskipun “secara hukum” mereka TIDAK BERSALAH atas kasus ini, namun Harold Watkins – Pemilik dan Kepala Pharmacist perusahaan tersebut – kemudian mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri sebelum menjalani persidangan.
Kejadian ini, serta beberapa kejadian lain seperti seorang wanita yang menjadi buta akibat menggunakan “eye shadow” yang mengandung merkuri; obat tonic yang tercemar Radithor yang menyebabkan seorang pasien sangat menderita dan akhirnya meninggal dunia; Obat – obat diabetes yang sub-standart dan sebagainya – akhirnya Konggres Amerika Serikat menyetujui Undang – Undang “Federal Food, Drug and Cosmetic Act” (FD&C) tahun 1938, yang merupakan penyempurnaan dari “Wiley Act” tahun 1906. Undang – undang ini MEWAJIBKAN para produsen untuk membuktikan KHASIAT dan KEAMANAN produknya sebelum dipasarkan. Undang – undang inilah yang nantinya MENYELAMATKAN jutaan bayi di Amerika Serikat dari sebuah obat yang kemudian menjadi “legenda“, THALIDOMIDE.
#SejarahGMP
#BagianKedua
#FarmasiIndustri
untuk artikel dari Bambang Priyambodo lainnya dapat dibaca disini.