Berikut tulisan dari Bambang Priyambodo mengenai vaksin.
Perdebatan panjang soal VAKSIN terus mewarnai “dunia maya” akhir – akhir ini. Kedua belah pihak, baik yang ProVac maupun AntiVac masing – masing mempunyai argumentasi untuk mempertahankan pendapatnya. Namun di banyak perdebatan tersebut, ada banyak sekali MIS-INFORMASI yang diberikan, baik dari pihak ProVac maupun AntiVac. Bahkan terkadang sangat jauh dari “perdebatan ilmiah”, sehingga terkesan menjadi “debat kusir”. Alih – alih memberikan pengertian kepada “pihak lawan”, yang keluar akhirnya justru caci-maki dan hinaan terhadap pihak lawan. Esensi perdebatan agar “lawan debat” mau mengikuti alur pemikiran justru makin “memperuncing” perbedaan tersebut, yang akhirnya justru makin menambah banyak “musuh”. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini bisa “mendudukan” permasalahan pada tempatnya. Biarlah kedua belah pihak, baik yang ProVac maupun AntiVac “menilai sendiri” manfaat dan mudharatnya. Tidak perlu dihina, dicemooh atau apalagi dikucilkan. Semua ada resikonya. Tapi ada baiknya diberikan dulu “informasi yang benar” tentang apa dan bagaimana Vaksin ini, termasuk bagaimana PROSES PEMBUATANNYA, sehingga masing-masing pihak punya pemahaman yang sama. Soal apakah kemudian tetap “keukeuh” pada pendirian semula sebagai ProVac atau AntiVac, sekali lagi – dikembalikan kepada pilihan masing – masing.
Saya sendiri BELUM PERNAH bekerja di industri penghasil vaksin sehingga pengetahuan saya soal ini pun masih sangat terbatas. Namun kebetulan, beberapa tahun lalu, saya pernah diminta oleh (mantan) Boss saya (yang sangat banyak maunya) untuk membuat proposal dan studi kelayakan pembuatan fasilitas produksi untuk obat – obat Biologik untuk Manusia. Sehingga saya pun – sedikit banyak – berkesempatan untuk mendalami bagaimana proses produksi dari Obat – Obat Biologik Untuk Manusia ini, termasuk bagaimana cara memproduksi sediaan Vaksin – yang dalam buku Pedoman CPOB aturan soal pembuatan produk-produk tersebut dijadikan satu, yaitu pada Aneks 2 tentang Pembuatan Bahan dan Produk Biologi Untuk Penggunaan Manusia (CPOB: 2018, Aneks 2). Sehingga saya pun “terpaksa” belajar dan mendalam bagaimana proses pembuatan dan segala macam aturan maupun persyaratannya. Meskipun pada akhirnya beliau “menyerah”, karena investasi yang diperlukan untuk membangun fasilitas produksi tersebut sungguh sangat aduhai. Dari perhitungan yang saya buat bersama team, tidak kurang dari Rp. 700 milyard dana yang diperlukan untuk membangun fasilitas tersebut, termasuk mesin-mesin produksi dan berbagai sarana penunjang kritis lainnya (seperti bangunan, AHU, water system, aneka macam tanki, inkubator, laboratorium dan aneka peralatan lainnya).
Apa sih itu VAKSIN dan Bagaimana Mekanime Kerjanya?
VAKSIN didefinisikan sebagai “bahan antigenik” yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus, sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau “liar” tersebut. Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan, sehingga tidak menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil metabolismenya (protein, peptida, partikel serupa virus). Vaksin akan mempersiapkan sistem imun manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus, atau toksin.
Jadi, VAKSIN ini bisa berupa :
– Bakteri atau virus yang “dimatikan”, contohnya : vaksin polio, vaksin hepatitis A vaccine, vaksin rabies vaccine dan vaksin influenza.
– Bakteri atau virus yang sudah “dilemahkan”, contohnya : vaksin yellow fever, vaksin measles, mumps, and rubella, (MMR), vaksin typhoid, vaksin tuberculosis, dan vaksin BCG.
– Anti-toxin (hasil ekskresi/metabolisme) dari bakteri atau virus, contohnya : vaksin tetanus dan vaksin difteri.
Dalam bahasa yang lebih sederhana kira – kira begini: tujuan utama dari pemberian VAKSIN ini adalah memasukan “antigen” yang akan “memicu” tumbuhnya ANTIBODI dari sistem imun dari dalam tubuh kita sendiri, sehingga apabila suatu saat terkena atau terpapar virus/bakteri ini, sistem imun kita SECARA OTOMATIS akan bisa “mengenali” dan akhirnya “membunuh” bakteri atau virus tersebut dengan ANTIBODI yang dihasilkan oleh sistem imun tubuh kita. Kalau dalam tubuh kita BELUM pernah diberikan VAKSIN, maka ibaratnya kita mendapat “serangan” mendadak dan sistem imun kita “belum kenal” dan “belum siap” menghadapi si penyerang ini. Akibatnya, tentu si penyerang ini, yaitu bakteri atau virus tersebut leluasa “mengobrak-abrik” sistem pertahanan tubuh kita, sehingga akhirnya kita pun jatuh SAKIT sesuai dengan bakteri/virus penyebab penyakit tersebut. Apakah kalau sudah di-vaksinasi kita masih bisa jatuh sakit? Tentu masih bisa, apabila si penyerang LEBIH KUAT dibanding sistem imun kita. Tetapi “kekalahannya” TIDAK SEPARAH kalau kita belum pernah diimunisasi, karena sistem imun kita sudah membangun “sistem pertahanan” dalam menghadapi si penyerang tersebut. Kira – kira begitu gambaran sederhana cara kerja vaksin ini di dalam tubuh kita.
Karena kita memasukan bakteri/virus atau anti-toxin ke dalam tubuh kita, meskipun sudah “dimatikan” atau “dilemahkan” maka tidak heran jika kemudian tubuh memberikan “reaksi” penolakan. Bisa jadi reaksi tersebut ringan-ringan saja, tapi tidak jarang pula terjadi “reaksi penolakan” yang hebat. Untuk itu, perlu tubuh yang “fit” dalam menghadapi “latihan pertempuran” tersebut. Untuk mudahnya, bisa kita lihat kalau ada MOS atau OPSPEK atau bahkan “latihan perang” tentara kita, ada sebagain kecil peserta tersebut yang jadi “korban”, mungkin jatuh pingsan atau luka-luka. Itu baru latihan.. Tapi kalau tidak ada latihan, bisa dibayangkan berapa banyak korban yang berjatuhan. Prinsip kerja vaksin kira – kira seperti itu.
BAGAIMANA CARA MEMPRODUKSI VAKSIN?
Ada beberapa tahapan dalam proses pembuatan (produksi) Vaksin. Masing – masing vaksin memiiki tata cara/prosedur yang berbeda. Tetapi secara umum, proses produksi vaksin dapat dibagi menjadi beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Pemilihan strain atau “Benih” Mikroorganime (bakteri atau virus)
2. Penumbuhan (pengembang-biakan) Virus/Bakteri dalam media yang sesuai
3. Isolasi dan Pemurnian Mikroorganime
4. Inaktivasi (pelemahan atau “pembunuhan”) Mikroorganisme
5. Formulasi (pencampuran, produksi, pengeringan (bila perlu), pengisian, dan pengemasan)
6. Kontrol Kualitas dan Distribusi
Mari coba kita “dedah” satu-persatu tahapan proses tersebut agar kita jadi lebih paham “duduk persoalan” dan kontroversi yang menyertainya.
1. Pemilihan strain atau “Benih” Mikroorganime (bakteri atau virus)
Produksi vaksin dimulai dengan sejumlah kecil virus tertentu (atau disebut virus “benih”). Virus “benih” ini harus bebas dari “kotoran”, baik berupa virus yang serupa atau variasi dari jenis virus yang sama. Selain itu, benih harus disimpan dalam kondisi “ideal”, biasanya beku, yang mencegah virus menjadi lebih kuat atau lebih lemah dari yang diinginkan. Benih disimpan dalam gelas kecil atau wadah plastik. Jumlah yang kecil hanya 5 atau 10 sentimeter kubik, mengandung ribuan hingga jutaan virus, nantinya dapat dibuat menjadi ratusan liter vaksin.
“Biang” atau Benih mikroorganisme ini harus jelas asal-usul dan jenis strain yang digunakan. Hal ini bisa dilacak dari keterangan yang terdapat pada LABEL atau Leaflet dari VAKSIN tersebut (lihat gambar).
Contoh misalnya pada Vaksin MR berikut ini :
• Virus Measles: Enders’ attenuated Edmonston strain. Ini artinya, virus Measles yang digunakan berasal dari strain (galur) Edmonston yang pertama kali diisolasi dan dibuat vaksin oleh John Franklin Enders, dkk pada tahun 1960.
Nama Edmonston merujuk pada daerah di Maryland, Amerika Serikat di mana untuk PERTAMA KALI virus ini diisolasi pada saat terjadinya wabah penyakit ini pada tahun 1963. Jadi virus yang digunakan saat ini adalah turunan dari virus yang SAMA yang pertama kali diisolasi lebih dari 50 tahun lalu yang tetap dijaga kemurnian strain atau galurnya.
• Virus Rubella : Wistar RA 27/3 strain of live attenuated rubella virus. Ini artinya virus yang digunakan adalah berasal dari Wistar Institute dengan kode RA 27/3 yang pertama kali diisolasi oleh Stanley Alan Plotkin, John D. Farquhar, Michael Katz, dan Fritz Buser di the Wistar Institute – the University of Pennsylvania di Philadelphia, Pennsylvania pada tahun 1963 -1969.
Plotkin, dkk mengembangkan vaksin Rubella untuk PERTAMA KALI menggunakan jaringan yang diambil dari sel paru-paru janin yang terlahir akibat aborsi dari seorang wanita di Swedia. Jaringan sel paru-paru tersebut di beri kode WI-38. Jaringan sel yang sama juga dikirim ke Medical Research Council di Witshire Inggris dan diberi kode MRC-5. Jadi saat ini terdapat 2 strain (galur) virus rubella yang digunakan, yaitu Wistar RA 27/2 dan MRC-5.
So, tidak heran apabila salah satu argumen penolakan penggunaan Vaksin oleh aktivis AntiVac adalah karena vaksin yang digunakan berasal dari JANIN ABORSI. Hal itu TIDAK SEPENUHNYA SALAH – TETAPI JUGA TIDAK TEPAT!!
Benar bahwa untuk PERTAMA KALI duluuuu… sekitar 50 tahun yang lalu, virus Rubella dikembangkan dengan menggunakan jaringan paru-paru yang berasal dari janin aborsi. Tapi itu 50 tahun yang lalu… pada saat aborsi secara hukum masih dinyatakan LEGAL. Sedangkan virus Rubella yang saat ini digunakan adalah TURUNAN dari virus tersebut yang dikembangkan dengan media yang berbeda namun tetap terjaga KEMURNIAN strain atau galurnya. Apakah itu artinya bahwa virus yang digunakan masih bisa disebut sebagai virus YANG SAMA yang dikembangkan dari jaringan janin aborsi? Wallahu’alam…
“Bank Cell” atau benih mikroorganisme ini harus disimpan pada almari khusus dengan suhu -20 sampai dengan -60oC.
Beberapa supplier benih mikroorganisme ini antara lain, Merck & Co., Sanofi Pasteur (virus BCG), dan sebagainya.
2. Penumbuhan (pengembang-biakan) Virus/Bakteri dalam media
Setelah pemilihan strain mikroorganime yang akan digunakan untuk produksi vaksin, langkah berikutnya adalah “membiakan” virus tersebut dalam media yang sesuai. Virus yang diambil dari “bank cell” alias benih mikroorganisme (virus atau bakteri) tersebut dimasukkan ke dalam media yang sesuai sehingga bisa berkembang-biak dalam jumlah yang diperlukan.
Media untuk mengembang-biakan mikroorganisme tersebut bermacam-macam tergantung dari jenis vaksin yang diproduksi, antara lain :
Vaksin yang berasal dari Bakteri :
• Batch Culture, dalam metode ini bakteri dimasukan ke dalam tanki (bioreaktor) yang berisi media dan kemudian dibiarkan (inkubasi) selama waktu tertentu hingga jumlah bakteri yang diinginkan. Misalnya bakteri Haemophilus influenzae type b.
• Continuous Culture, sama seperti Batch Culture, hanya saja pemberian nutrient dilakukan secara terus menerus selama proses inkubasi.
Vaksin yang berasal dari Virus :
• Embrio unggas (biasanya menggunakan telor ayam berembrio yang terfertilisasi dan berumur 5 – 14 hari), misalnya untuk vaksin influensa, vaksin Measles, vaksin Mumps, dan lain – lain. Virus yang dikembangkan sangat tergantung dari bagian mana dari telur berembrio (embryonated eggs) tersebut ditanamkan (lihat gambar).
• Binatang hidup, misalnya : monyet untuk vaksin polio; kuda, domba atau kambing untuk vaksin tetanus; kelinci, mencit atau hamster untuk vaksin rabies; dan sebagainya.
• Kultur sel/jaringan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, proses pengembang-biakan virus yang digunakan untuk pembuatan vaksin banyak menggunakan teknik kultur sel dengan berbagai alasan dan keunggulan, misalnya untuk pengembang-biakan virus Hepatitis B, virus influensa, dan lain-lain. Teknik kultur sel juga terkadang menggunakan sel jaringan binatang, seperti jaringan ginjal monyet dalam proses pembuatan vaksin polio. Media yang digunakan untuk menumbuhkan mikroorganime tersebut antara lain Medium MEM (larutan yang mengandung bufer garam, fetal bovine serum, human serum albumin and neomycin, dan lain-lain) yang digunakan untuk pertumbuhan virus Rubella.
Penghentian Pengembang-biakan Mikroorganisme
Setelah proses pengembang-biakan mikroorganime tersebut diperoleh jumlah virus yang cukup, proses selanjutnya adalah penghentian (terminasi) untuk selanjutnya dilakukan “pemanenan” atau harvesting. Beberapa virus (misalnya virus Measles) yang dikembang-biakan dengan menggunakan telur berembrio (Embryonated Eggs), setelah diinkubasi selama 2 – 3 hari, kemudian dikeluarkan dari cangkangnya. Proses selanjutnya adalah menghentikan proses pengembang-biakan virus dengan menggunakan enzim, sebelum diisolasi dan dimurnikan. Enzim yang digunakan untuk proses penghentian tersebut adalah TRIPSIN. Enzim yang sama juga digunakan untuk menghentikan proses pengembang-biakan virus Poliomyelitis yang dikembangkan pada jaringan hewan hidup. Setelah proses perkembang-biakan dihentikan, antigen yang mengandung TRIPSIN tersebut kemudian “dicuci” dan “dibilas” berkali-kali sehingga tidak ada senyawa TRIPSIN yang terdeteksi pada antigen tersebut.
Penggunaan TRIPSIN yang diperoleh dari hasil ekstraksi pankreas babi dengan menggunakan aseton ini kemudian memicu kontroversi, terutama di kalangan umat Islam. Tentu akan sangat sulit untuk dilakukan proses Sertifikasi Halal jika dalam proses pembuatannya melibatkan atau bersinggungan dengan bahan/hewan yang diharamkan.
Meskipun demikian, dari berbagai belahan dunia termasuk fatwa dari Majelis Ulama Indonesia menetapkan bahwa hukum dari Imunisasi adalah “mubah” sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh (imunitas) dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Imunisasi dengan vaksin yang haram dan/atau najis tidak dibolehkan kecuali :
a. Digunakan pada kondisi “al-dlarurat” atau “al-hajat”
b. Belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci; dan
c. Adanya keterangan tenaga medis yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal
Berikut FATWA dari beberapa lembaga ulama di dunia :
http://www.searo.who.int/…/fatwa_no.4_tentang_imunisasi.pdf…
http://www.who.int/immunization_st…/…/englishtranslation.pdf
http://www.iais.org.my/…/Dr.%20Shaikh%20Saifuddeen%20Vaccin…
Dan memang sejauh ini BELUM ADA teknik atau metode atau bahan lain yang BISA digunakan untuk proses produksi vaksin tersebut, selain TRIPSIN. Beberapa jenis tripsin, seperti misalnya Tripsin Rekombinant, saat ini masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Masih diperlukan waktu yang cukup lama sehingga bahan tersebut bisa digunakan untuk menggantikan tripsin yang diperoleh dari pankreas babi saat ini untuk skala industri.
Jadi, sinyalemen sejumlah aktivis AntiVac bahwa proses produksi vaksin bersinggungan dengan babi? Jawabannya adalah BENAR karena salah satu bahan yang digunakan memang berasal dari babi.
Apakah senyawa/bahan tersebut masih ada di dalam vaksin? TIDAK. Senyawa tersebut sudah mengalami pencucian berkali-kali dan “hanya” digunakan sebagai “alat bantu” dalam proses pembuatan vaksin dan sama sekali TIDAK TERDETEKSI di dalam vaksin yang diproduksi.
Apakah ada vaksin yang dimaksud menggunakan bahan lain selain TRIPSIN? Saat ini BELUM ADA. Rekombinant Tripsin yang diharapkan menggantikan TRIPSIN yang berasal dari babi, masih dalam tahap penelitian dan pengembangan. Masih diperlukan beberapa waktu sehingga “tiruan” bahan ini bisa digunakan dalam skala industri.
Apakah SEMUA vaksin menggunakan TRIPSIN? TIDAK. Hanya vaksin tertentu saja yang menggunakan bahan ini. Semua ada keterangan di leaflet, dus atau brosurnya. Sesuai dengan peraturan Badan POM, maka vaksin yang dalam proses pembuatannya menggunakan bahan yang bersumber dari babi, HARUS diberi penandaan “PADA PROSES PEMBUATANNYA BERSINGGUNGAN DENGAN BAHAN BERSUMBER BABI”.
Tidak ada yang disembunyikan koq.. Semua ada aturannya.
Bagaimana hukumnya? Silahkan merujuk pada FATWA dari Lembaga Ulama dari beberapa negara tersebut di atas.
3. Isolasi Dan Pemurnian Mikroorganisme
Tahap ketiga dalam proses produksi vaksin adalah isolasi dan pemurnian mikroorganisme yang dihasilkan dari proses pengembang-biakan pada tahap 2. Ini adalah tahapan TERPENTING dalam proses produksi vaksin. Tujuan dari isolasi dan pemurnian ini adalah memisahkan komponen mikroorganisme yang dikehendaki dari bahan-bahan lain, terutama media dan juga membuang mikroorganime lain yang mungkin ikut tumbuh pada saat tahap 2. Pada tahapan ini juga untuk memisahkan dan membuang virus yang mati atau cacat selama proses pengembang-biakan.
Ada beberapa teknik atau metode yang digunakan untuk proses isolasi dan pemurnian vaksin, antara lain: Sentrifugasi (centrifugation), Penyaringan (filtration) dan Kromatografi (chromatography).
• Sentrifugasi
Sentrifugasi adalah teknik isolasi dan pemurnian dengan cara memisahkan partikel (zat) padat dengan zat cair menggunakan mesin sentrifugasi (pemutar kecepatan tinggi). Sentrifugasi ini akan memisahkan virus yang akan digunakan sebagai vaksin dengan virus yang mati atau cacat yang kemudian akan mengendap dan kemudian dipisahkan. Contoh vaksin yang menggunakan teknik pemisahaan dengan cara ini antara lain : vaksin measles dan Mumps; vaksin Influensa; vaksin rabies; vaksin hepatitis B; dan vaksin encephalitis.
• Penyaringan (filtrasi)
Filtrasi atau penyaringan adalah teknik pemisahan vaksin dengan zat-zat pengotor, menggunakan penyaringan dengan tekanan tinggi (high pressure filtration), kemudian dilanjutkan dengan penyaringan menggunakan Ultra Filtration. Biasanya teknik digunakan untuk Vaksin yang berasal dari bakteri.
• Kromatografi
Prinsipnya sama seperti teknik filtrasi, namun teknik ini didasarkan pada kharakteristik perbedaan koefisien distribusi dari vaksin yang akan diproduksi. Contoh vaksin yang menggunakan teknik ini adalah vaksin cacar (small pox). Ada 2 macam kromatografi yang digunakan, yaitu kromatografi ion exchanger dan Affinity Chromatografi. Keduanya menggunakan kolom Chromatografi. Salah satu contoh vaksin yang menggunakan teknik Affinity Chromatografi ini adalah vaksin influensa yang menggunakan kultur sel pada tahap pengembang-biakan virus (tahap 2).
Dalam prakteknya, industri farmasi menerapkan kombinasi dari berbagai teknik isolasi dan pemurnian tersebut. Misalnya teknik filtrasi dan kromatografi atau teknik sentrifugasi dan kromatografi (lihat gambar). Peran Pengawasan Mutu (Quality Control) amatlah menentukan dalam tahapan ini sebelum melangkah ke tahapan proses produksi berikutnya.
4. Inaktivasi Mikroorganime
Tahapan proses produksi berikutnya yang tidak kalah penting dibanding proses isolasi dan pemurnian mikroorganisme adalah tahapan Inaktivasi Mikroorganisme, bahkan tahapan ini sangat mempengaruhi JENIS VAKSIN yang akan dihasilkan.
Ada beberapa macam proses Inaktivasi Mikroorganisme yang juga menentukan JENIS VAKSIN yang dihasilkan, di antaranya :
• Inaktivasi dengan cara “Pelemahan” (attenuated) Mikroorganisme. Jadi mikroorganisme ini “masih hidup”, namun “sudah dilemahkan” sehingga menjadi tidak berbahaya . Contoh vaksin yang diproduksi dengan metode ini antara lain vaksin Measles, vaksin Rubella, vaksin BCG, vaksin Polio (Sabin) dan sebagainya.
• Beberapa vaksin yang bersifat “virulent” (ganas), di-Inaktivasi dengan cara “dihancurkan” sehingga menjadi mikroorganisme yang tidak aktif, contohnya vaksin polio, vaksin hepatitis A, vaksin rabies dan beberapa vaksin influenza. Proses Inaktivasi dengan metode ini dilakukan dengan cara kimiawi (formaldehide), secara mekanis (panas) atau dengan cara radiasi sinar UV.
• Selain itu, ada pula proses inaktivasi dengan cara memisahkan lapisan lemak yang menyelimuti tubuh virus (lipid-coated viruses) dengan menggunakan “deterjen” khusus (misalnya Triton-X 100) sehingga meskipun virus tersebut masih hidup namun sudah tidak bisa ber-reproduksi lagi alias tidak aktif. Contohnya vaksin influensa dan vaksin Hepatitis B.
Masing-masing proses Inaktivasi memiliki KELEMAHAN dan KELEBIAHAN masing – masing serta resiko yang berbeda. Sebagai contoh misalnya proses Inaktivasi dengan metode “attenuated” yang meskipun “keampuhannya” sudah diakui namun vaksin ini juga memiliki kelemahan yaitu, vaksin hidup mempunyai potensi untuk berubah menjadi “virulen”, sehingga dapat membahayakan pemakainya. Beberapa virus juga mungkin sukar atau tidak dapat dilemahkan sehingga menjadi kendala pembuatan vaksin.
Inilah terkadang yang kemudian memunculkan berbagai macam Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) terutama apabila anak yang mendapatkan imunisasi tersebut dalam kondisi badan kurang FIT. Jadi tidak perlu ditutup-tutupi EFEK SAMPING vaksin ini. Yang diperlukan adalah bagaiman memberikan PEMAHAMAN yang benar kepada masyarakat tentang segala resikonya. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah MENYIAPKAN kondisi fisik dari anak – anak yang akan diimunisasi tersebut. Sama seperti kalau kita menyiapkan anak-anak kita ketika akan menghadapi MOS atau OPSPEK, sarapan dulu, tidak dalam kondisi sakit, dan sebagainya. Perlu diingat bahwa vaksin yang dimasukkan ke dalam tubuh anak – anak tersebut adalah “ANTIGEN” yang memang dimaksudkan untuk “memicu” timbulnya sistem imun dari tubuh anak – anak tersebut.
Oleh karenanya, pada tahapan ini terdapat KONTROL KUALITAS yang sangat ketat. Ada banyak pengujian yang dilakukan sebelum melangkah ke tahapan proses produksi selanjutnya.
5. Formulasi sediaan Vaksin
Seperti halnya sediaan farmasi lainnya, sebelum digunakan untuk pasien, mikroorganisme yang sudah sudah diinaktivasi tersebut harus diformulasikan untuk menjadi sediaan farmasi. Untuk itu diperlukan sejumlah bahan tambahan, antara lain:
• ADJUVANTS (“BOOSTER”). Seperti kita tahu bahwa kadar antigen dalam vaksin tersebut sangat kecil sehingga diperlukan “booster” untuk memaksimalkan respons sistem imun tubuh terhadap vaksin. Contoh bahan yang digunakan adalah Garam Aluminium (misalnya: aluminium phosphat atau aluminium sulfat). Kadar maksiman yang diizinkan oleh WHO dan dinyatakan aman adalah 1,14 mg/dosis. Bahan ini telah digunakan lebih dari 80 tahun dan tidak menimbulkan efek negatif bagi tubuh manusia.
• PRESERVATIVE (PENGAWET). Preservatif ini hanya digunakan untuk vaksin MULTIDOSE (misalnya Vaksin Hepatitis B, DPT dan DT) untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan untuk vaksin SINGLE DOSE, tidak diperlukan pengawet. Contoh bahan pengawet yang digunakan adalah THIMEROSAL (turunan merkuri, biasanya yang digunakan adalah Ethyl Mercury). Dosis yang diperbolehkan dan dinyatakan aman adalah 0,003 – 0,01%. Biasanya kadar pengawet yang digunakan di dalam vaksin tidak lebih dari 0,005%. Jadi SANGAT AMAN.
Issu soal THIMEROSAL sebagai penyebab penyakit AUTIS sudah banyak studi yang MEMBANTAH issue tersebut. Bahan ini sudah digunakan lebih dari 60 tahun sebagai preservatif di seluruh dunia dan TIDAK ADA efek samping yang serius dari penggunaan Thimerosal tersebut.
• ANTIBIOTIK. Beberapa vaksin, misalnya vaksin Polio ditambahkan antibiotik untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme. Bahan yang digunakan misalnya neomicyn.
• STABILIZER. Fungsinya adalah untuk menstabilkan vaksin saat berada pada kondisi ekstrem, misalnya panas. Dosis yang digunakan pun sangat kecil, yaitu < 10 mikrogram. Beberapa jenis yang digunakan untuk stablizer ini antara lain : Gula (sukrosa & Laktosa); Asam Amino (Glisin dan mono sodium glutamat/MSG); atau Protein (Albumin dan Gelatin).
Bahan stabilizer ini yang sering “digoreng” sehingga memicu berbagai kontroversial. Coba kita telaah satu per satu.
“Mono Sodium Glutamat (MSG)” sering disebutkan sebagai penyebab anak – anak yang divaksin menjadi BODOH. Sesuai penelitian TIDAK ADA BUKTI bahwa MSG yang terkandung dalam vaksin menyebabkan penurunan fungsi otak. Selain kadarnya yang sangat kecil, pengaruh MSG dalam penurunan fungsi otak juga masih perdebatan. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh FDA, peneliti Jepang dan banyak peneliti lainnya, TIDAK TERBUKTI bahan ini menyebabkan “Chinese Restaurant Syndrome”.
Lihat di sini :
https://www.fda.gov/…/foodadditivesingredients/ucm328728.htm
https://thejournalofheadacheandpain.biomedcentral.com/…/s10…
https://www.businessinsider.com/msg-ingredients-side-effe…/…
ALBUMIN. Kebanyakan diambil dari albumin telur ayam, misalnya vaksin infuenza dan yellow fever. Memang ada beberapa orang yang “alergi” terhadap putih telur ayam. Tapi populasinya sangat kecil sekali, sekitar 1 per 25 juta orang. Tapi ada baiknya apabila akan dilakukan vaksinasi, terutama vaksin yang mengandung Albumin ditanyakan apakah ada alergi terhadap putih telur apa tidak.
GELATIN. Gelatin diperlukan sebagai stabilizer agar vaksin tetap aman dan efektif selama proses distribusi dan penyimpanan. Berbeda dengan gelatine yang digunakan untuk makanan, maka gelatin yang digunakan sebagai stabilizer untuk vaksin harus benar-benar yang “highly purified” atau sangat murni dan dalam bentuk yang sangat kecil yang disebut dengan “PEPTIDA”.
Gelatin yang digunakan dapat diperoleh dari pengolahan kolagen berbagai hewan seperti ayam, sapi, babi atau ikan. Jadi ada banyak sumber dari gelatin ini. Sehingga TIDAK SEMUA vaksin mengandung gelatin yang berasal dari kolagen babi. Namun demikian ada pula vaksin yang hanya bisa diproduksi jika menggunakan stabilizer (gelatin) yang berasal dari kolagen babi, misalnya vaksin shingles (herpes zoster) dengan merek dagang Zostavac ® .
Sebenarnya tidak banyak vaksin yang mengandung gelatin dari babi, misalnya :
– Vaksin MMR (Merk VaxPro®, MMR II®,)
– Vaksin MMR-Varicella (Merk ProQuad®)
– Vaksin Influenza (Merk Fluez®, Fluzone®, Flumist®)
– Vaksin Varicella (Merk Varivax®)
– Vaksin Tifoid (Merk Vivotif®)
Sebagai alternatifnya, ada banyak vaksin yang TIDAK menggunakan gelatin dari babi, melainkan dari sapi (bovine gelatine), antara lain :
– Vaksin MMR (Merk Priorix® atau Trimovax®)
– Vaksin Varicella (Merk Varilrix®)
– Vaksin Tifoid (Merk Tymphim Vi®)
– Vaksin Influenza (Merk Influvac®)
Berbeda dengan TRIPSIN yang tidak ditemukan di produk akhir vaksin, gelatin memang terkandung dalam produk akhir dan masuk ke dalam tubuh kita. Makanya dalam dus atau etiketnya tertulis “MENGANDUNG BABI”
Alhamdulillah,.. SELURUH vaksin yang termasuk dalam program imunisasi wajib (vaksin yang disubsidi pemerintah), seperti Vaksin BGC, DPT, Hepatitis B, Polio dan Campak, SEMUANYA TIDAK menggunakan gelatine dari babi.
Sedanngkan Vaksin Meningitis, juga TERSEDIA vaksin yang tidak menggunakan gelatin, yaitu Mencevax® dan Menveo®. Demikian pula vaksin rotavirus (Rotarix, Rota Teq), Vaksin Hepatitis A, Vaksin HiB SEMUANYA TIDAK MENGANDUNG GELATIN.
PROSES PRODUKSI LANJUTAN
Beberapa vaksin, misalnya vaksin BCG, vaksin Campak, vaksin MR/MMR, atau vaksin yellow fever dibuat dalam bentuk sediaan “freeze dry” (beku kering), artinya wujud vaksin tak berbentuk cairan melainkan bubuk padat. Proses ini sering kali disebut juga dengan “lyophilisation”. Proses ini sangat mahal dengan meggunakan mesin pengering khusus. Salah satu keuntungan bentuk sediaan ini adalah SUSAH DIPALSUKAN. Dalam penggunaannya harus dilarutkan terlebih dahulu dengan “diluent” (pelarut) yang biasanya disertakan pula dalam kemasan vaksin. Namun demikian, salah satu KELEMAHAN bentuk sediaan ini adalah HARUS DISIMPAN DALAM KONDISI SUHU TERTENTU (2 – 8oC) sehingga perlu wadah dan handling khusus. Jika tidak hati-hati maka vaksin tersebut menjadi rusak dan tidak dapat digunakan lagi.
6. Kontrol Kualitas
Setiap tahapan dari proses produksi vaksin harus mengikuti kaidah GMP (CPOB) dan diawasi dengan ketat oleh lembaga yang berwenang. Badan Kesehatan Dunia (WHO ) juga mengeluarkan sejumlah peraturan sehingga vaksin yang diproduksi oleh perusahaan dari manapun di seluruh dunia akan memiliki kualitas yang sama.
Proses kendali mutu vaksin ini dilakukan amat sangat ketat, konsisten dan berkala. Secara acak dipilih vaksin yang akan diperiksa kualitasnya. Indikator yang diperiksa antara lain adalah sterilitas, stabilitas kimiawi, keamanan/toksisitas, virulensi, bahkan hingga pengaruhnya kepada lingkungan sekitar.
Salah satu hal penting lainya adalah pelaksanaan uji lot/batch release. Pada setiap rangkaian produk vaksin dalam suatu waktu tertentu, dilakukan penandaan berupa kode tertentu untuk memastikan konsistensi kemurnian, potensi dan keamanan vaksin yang diproduksi pada waktu berlainan haruslah tetap sama dan tidak terjadi penyimpangan.
PENUTUP
Sekali lagi tulisan ini berdasarkan atas HASIL KAJIAN saya dan team saat itu, untuk mempersiapkan fasilitas produksi produk biologi (termasuk vaksin). Semoga saja tulisan panjang ini bisa “menjawab” semua pertanyaan seputar proses produksi vaksin dan “mengakhiri” semua perdebatan soal vaksin. Apabila ada teman-teman yang lebih berpengalaman atau pernah punya pengalaman secara pribadi dalam proses pembuatan produk-produk vaksin ini, silahkan dengan senang hati saya menerima masukan atau koreksinya. Tulisan ini bukan untuk “menghakimi” salah satu pihak, namun lebih kepada ingin mendudukan masalah yang sebenarnya agar semua pihak bisa memahaminya, keputusan selanjutnya terserah Anda…
Alangkah BERDOSANYA kita apabila anak – anak kita harus menanggung penderitaan seumur hidup akibat “keegoisan” kita. Bukan hanya anak kita.. cucu – cucu kita pun ikut pula menanggung akibatnya karena ibu atau bapak mereka tidak kita vaksinasi pada saat mereka kecil. Siapa yang mau menanggung penderitaan mereka???
Wallahu A’lam Bish-Shawab..